TUGAS
SOFTSKILL
MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA
NAMA: TISA AMALIA RAMADHANI
KELAS: 1EB29
NPM: 28213924
DOSEN: IRWANDARU DANANJAYA
UNIVERSITAS GUNADARMA KARAWACI
MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA
NAMA: TISA AMALIA RAMADHANI
KELAS: 1EB29
NPM: 28213924
DOSEN: IRWANDARU DANANJAYA
UNIVERSITAS GUNADARMA KARAWACI
PENGERTIAN
Sampai saat ini di Indonesia, masih banyak kalangan praktisi dan birokrat
kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat
dari
keadaan
tersebut konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan
produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup.
Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti dan akademisi
menyadari bahwa kerawanan
pangan terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu diakses rumah
tangga karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki (pendapatan,
kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya).
Kebijakan pemerintah
dalam swasembada pangan
Masalah pangan sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah melalui berbagai
macam kebijakan. Sejarah telah menyebutkan pada awal kemerdekaan Indonesia
pemerintahan Soekarno pernah mengeluarkan Progam Kesejahteraan Kasimo untuk
mencapai swasembada beras. Pemerintahan Soekarno juga pernah mengeluarkan
Progam Sentra padi untuk mencapai swasembada pangan. Namun akibat turbulensi
politik dan disertai dengan pemberontakan maka pada masa itu terjadi krisis
pangan yang cukup parah.
Indonesia
sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk
mendukung swasembada beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian padi
yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani)
banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah
terbentuk sejak lama.
Namun pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak
terkait malah terkesan memandang sebelah mata sektor pertanian tanaman pangan.
Fakta paling gamblang tentang itu: lahan pesawahan – termasuk yang beririgasi
teknis – terus menyusut secara signifikan akibat tergusur aneka kepentingan
nonpertanian, terutama permukiman dan industri.
Maka jangan sesali kalau produksi beras
nasional cenderung menurun. Bahkan kalaupun berbagai faktor amat menunjang –
seperti iklim, pengendalian hama, juga penyediaan berbagai input – produksi
beras nasional sulit sekali ditingkatkan lagi. Produksi beras nasional boleh
dikatakan sudah stagnan di level 50-an juta ton per tahun. Padahal konsumsi
nasional, sebagai konsekuensi pertambahan penduduk, terus meningkat pasti dan
begitu signifikan.
Di lain
pihak, negara-negara seperti Thailand dan Vietnam terus berupaya keras
meningkatkan produksi beras secara intensif. Upaya mereka sungguh tak mengenal
lelah, termasuk mengembangkan dan menerapkan inovasi pertanian. Target mereka
bukan lagi sekadar mencapai swasembada, melainkan tampil menjadi negara
produsen beras terbesar di dunia.
Dalam
konteks seperti itu pula, Thailand dan Vietnam sering tampil menjadi
“penyelamat” bagi Indonesia ketika persediaan beras di dalam negeri menyusut.
Bagi Indonesia, Thailand dan Vietnam kini menjadi sumber andalan bagi impor
beras.
Tapi
celakanya, impor beras kini terkesan bukan lagi sekadar alternatif sementara.
Impor beras seolah sudah menjadi andalan untuk mengamankan kebutuhan nasional.
Di tengah produksi beras di dalam negeri yang cenderung stagnan atau bahkan
terus menurun, sementara kebutuhan konsumsi mencatat grafik yang kian menanjak,
pemerintah tidak cukup terlecut untuk bertindak habis-habisan menggerakkan
upaya peningkatan produksi beras nasional. Pemerintah terkesan lebih merasa
aman dan nyaman mengandalkan impor.
Untuk
mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut, pemerintah
seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk para petani,
sehingga produksi pertanian dari tahun ke tahun akan semakin membaik. Untuk
mewujudkan swasembada yang dimaksud, maka diperlukan peningkatan produksi beras
sebanyak 2 juta ton tahun 2007 dan peningkatan lima persen per tahun hingga
tahun 2009.
Kunci keberhasilan peningkatan produksi
padi, antara lain optimalisasi sumber daya pertanian, penerapan teknologi maju
dan spesifik lokasi, dukungan sarana produksi dan permodalan, jaminan harga
gabah yang memberikan insentif produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan
pendampingan.
Sementara strategi yang dilakukan untuk
mewujudkan keberhasilan itu, yakni dengan peningkatan produktivitas, perluasan
areal tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta
dukungan pembiayaan usaha tani.
Sedangkan upaya peningkatan produktivitas padi antara lain melalui pengelolaan
tanaman terpadu (PTT) di 33 provinsi seluas 2,08 juta hektare, penanaman padi
hibrida di 14 provinsi seluas 181.000 hektare, dan perbaikan intensifikasi
non-PTT di 33 provinsi seluas 10,3 juta hektare.
Setelah Soekarno turun dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto,
Indonesia mengalami masa transisi antara tahun 1965 sampai 1967. Masa transisi
tersebut merupakan awal dari cikal bakal dari Bulog. Pada tahun 1966 dibentuk
Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS), namun pada tahun 1967 KOLOGNAS dibubarkan
dan diganti dengan Badan Urusan Logistik (BULOG).
Pada masa SBY, pemerintah mengeluarkan progam perencanaan revitalisasi
pertanian yang mencoba menempatkan kembali sektor pertanian secara proporsional
dan kontekstual dengan meningkatkan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan
agribisnis yang mampu meyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung dan
palawija. Sampai tulisan ini dibuat baru satu target yang telah dicapai oleh
pemrintah yaitu swasembada beras pada tahun 2008 yang lalu.
- Pemerintah Fokus Swasembada 5 Komoditas
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengaku pemerintah sedang
memfokuskan diri pada lima komoditas untuk mencapai swasembada pangan.
Pemerintah
dikatakan masih tetap mengacu pada program Bukit Tinggi Plan Of Action,
yaitu memperiotitaskan swasembada lima komoditas pangan.
"Kita memang harus tetap konsisten dengan Bukit Tinggi plan Of Action yaitu menuju swasembada lima saja yang kita prioritaskan. Beras itu sudah, jagung, gula, kedelai, daging sapi," kata Hatta usai menghadiri pembukaan Jambore Masyarakat Agribisnis dan Agro Industri Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Jumat (29/11/2013).
Sementara untuk komoditas lainnya, menurut Hatta kondisinya saat produksi dalam negeri sudah mencukupi memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Yang lain holtikultura banyak dipengaruhi faktor musiman. Sebetulnya kita seperti bawang cabai kita itu cukup," ungkap dia.
Namun, menurut Hatta meski sudah terbilang cukup komoditas pangan tersebut terkadang juga mengalami keterbatasan karena dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah musim panen dan cuaca.
"Tapi kadang-kadang ada gangguan panen musim cuaca kita shortage ini yang harus kita jaga bagaimana teknologinya tapi plant action. Untuk 10 juta surplus beras harus jadi agenda utama kita," tuturnya.
"Kita memang harus tetap konsisten dengan Bukit Tinggi plan Of Action yaitu menuju swasembada lima saja yang kita prioritaskan. Beras itu sudah, jagung, gula, kedelai, daging sapi," kata Hatta usai menghadiri pembukaan Jambore Masyarakat Agribisnis dan Agro Industri Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Jumat (29/11/2013).
Sementara untuk komoditas lainnya, menurut Hatta kondisinya saat produksi dalam negeri sudah mencukupi memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Yang lain holtikultura banyak dipengaruhi faktor musiman. Sebetulnya kita seperti bawang cabai kita itu cukup," ungkap dia.
Namun, menurut Hatta meski sudah terbilang cukup komoditas pangan tersebut terkadang juga mengalami keterbatasan karena dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah musim panen dan cuaca.
"Tapi kadang-kadang ada gangguan panen musim cuaca kita shortage ini yang harus kita jaga bagaimana teknologinya tapi plant action. Untuk 10 juta surplus beras harus jadi agenda utama kita," tuturnya.
Pemerintah Fokus Swasembada 5 Komoditas
Ekonomi
0
29 Nov 2013 17:16

Pemerintah dikatakan masih tetap mengacu pada program Bukit Tinggi Plan Of Action, yaitu memperiotitaskan swasembada lima komoditas pangan.
"Kita memang harus tetap konsisten dengan Bukit Tinggi plan Of Action yaitu menuju swasembada lima saja yang kita prioritaskan. Beras itu sudah, jagung, gula, kedelai, daging sapi," kata Hatta usai menghadiri pembukaan Jambore Masyarakat Agribisnis dan Agro Industri Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Jumat (29/11/2013).
Sementara untuk komoditas lainnya, menurut Hatta kondisinya saat produksi dalam negeri sudah mencukupi memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Yang lain holtikultura banyak dipengaruhi faktor musiman. Sebetulnya kita seperti bawang cabai kita itu cukup," ungkap dia.
Namun, menurut Hatta meski sudah terbilang cukup komoditas pangan tersebut terkadang juga mengalami keterbatasan karena dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah musim panen dan cuaca.
"Tapi kadang-kadang ada gangguan panen musim cuaca kita shortage ini yang harus kita jaga bagaimana teknologinya tapi plant action. Untuk 10 juta surplus beras harus jadi agenda utama kita," tuturnya. (Pew/Nrm)
HAMBATAN yang DIHADAPI INDONESIA dalam SWASEMBADA PANGAN
Masih
rendahnya peningkatan produksi pangan di Indonesia dan terus menurunnya laju
peningkatan produksi pangan dari tahun ke tahun secara teknis lebih di dominasi
oleh dua penyebab utama yaitu: (1) Produktivitas pangan yang masih rendah dan
terus menurun; dan (2) Peningkatan luas areal penanaman/panen yang stagnan
bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian produktif di pulau Jawa.
Kombinasi kedua faktor di atas mempertajam penurunan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun. Kondisi ini akan terus menjadi “endemic” ke daerah-daerah dan tentunya akan semakin parah dengan seringnya diberitakan kondisi rawan pangan.
Disamping dua masalah klasik di atas, hambatan produksi pangan dipacu pula oleh beberapa isu nasional yang merupakan bagian dari “propaganda dagang” para importir pangan dan lemahnya pranata pertanian sehingga menurunkan gairah produksi oleh petani, antara lain:
1. Misalnya pada Kedelai, bahwa rata-rata kedelai nasional rendah yaitu 1,28 ton/ha, sedangkan di Amerika mampu mencapai 2,3 ton/ha yang kemudian banyak para ahli pertanian latah dan menjustifikasi bahwa tanaman kedelai identik sebagai tanaman subtropik yang hanya cocok tumbuh dan berproduksi tinggi di Negara-negara subtropik dan kurang cocok jika di tanam di Indonesia.Hal ini tidak sepenuhnya benar karena di India dan Cina ternyata rata-rata produktivitas nasionalnya sama dengan Indinesia bahkan lebih rendah. Pada kenyataannya dengan teknologi yang tepat tanaman kedelai di Indonesia mampu mencapai produksi lebih dari 3 ton/ha dan bahkan dalam beberapa pengujian sekala lapangan produksi kedelai di Indonesia dapat melampaui 4,5 ton/ha. Beberapa jenis kedelai temuan baru saat ini telah berhasil pula ditanam dan berproduksi dengan baik pada ketinggian 1.300 m dpl dengan produktivitas lebih dari 3 ton/ha yang selama ini dan selama ini banyak ahli dan pihak-pihak pesimis.
2. Hama dan penyakit komoditi pangan cukup besar karena kondisi iklim di Indonesia yang tropis (panas dan lembab) dan atas dasar teori dan fenomena parsial tersebut diklaim bahwa bertani pangan tidak efisien dan rugi ditanam di Indonesia. Padahal hal di Negara sub tropis sendiri dahulu mengalami masalah yang sama sebelum menerapkan tanaman GMO (genetically modified organism) dan Hibrida. Di negara maju seperti Amerika, Canada dan Australia, lebih dari 80 % tanaman Jagung dan Kedelai yang ditanam adalah GMO. Teknik pengendalian hamanya dilakukan secara total dengan penyemprotan pestisida dalam hamparan yang luas (dengan pesawat) sehingga kemungkinan hama di areal hamparan tersebut musnah termasuk burung dan satwa alam lainnya ikut musnah.
3. Negara maju lebih banyak memberikan produk dan teknologi olahan pangan yang berbasis pada bahan baku impor seperti Biji kedelai, gandum dan kentang, untuk memacu pemakaian konsumsinya, tetapi segi teknologi budidaya pangan kurang diperkenalkan sehingga dalam produksi komoditi pangan di dalam negeri tidak lebih efisien dan kalah bersaing, dan impor semakin besar. Kondisi ini justru tidak memihak ke pembangunan pertanian rakyat dan jika scenario kebijakan pemerintah berpihak kepada kepentingan industri Negara maju di atas, maka Indonesia menjadi pasar produk pangan mereka dan makin besar ketergantungannya dan terjajah pangannya.
4. Sentra perbenihan pangan kurang di kembangkan sebagai industri benih Nasional yang utama dan berkelanjutan. Para produsen benih baik swasta maupun petani penangkar kuang mampu menghasilkan benih yang unggul dan berdaya hasil tinggi dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu perlu perhatian yang serius terhadap jaminan ketersediaan benih, pemberian insentif produsen benih, teknologi produksi, keterjaminan akan konsumsi benih dan tata perbenihan komoditi pangan yang bermutu (pengadaan, persebaran dan ketersediaan, dll.) merupakan titik awal untuk memulai bangkit Pangan.
5. Permasalah lain adalah lemahnya permodalan petani untuk menanam dalam lahan yang lebih luas. Kredit yang dapat menjamin usaha di sektor ini tidak ada. Kalaupun ada hanya sebatas diwacanakan, milsalnya kebijakan KKP kedelai. Lemahnya modal untuk membiayai usaha tani kedelai berdampak langsung pada rendahnya produktivitas dimana ketiadaan modal petani tidak melakukan budidaya dengan tepat seperti tidak dipupuk (tidak mampu beli benih unggul, pupuk dan pestisida), tidak diurus/diberi air irigasi, tidak mampu menahan saat harga turun (stock gudang), bahkan petani terbelilit ijon (tanaman dijual/digadai sebelum panen) dengan harga murah.
Kombinasi kedua faktor di atas mempertajam penurunan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun. Kondisi ini akan terus menjadi “endemic” ke daerah-daerah dan tentunya akan semakin parah dengan seringnya diberitakan kondisi rawan pangan.
Disamping dua masalah klasik di atas, hambatan produksi pangan dipacu pula oleh beberapa isu nasional yang merupakan bagian dari “propaganda dagang” para importir pangan dan lemahnya pranata pertanian sehingga menurunkan gairah produksi oleh petani, antara lain:
1. Misalnya pada Kedelai, bahwa rata-rata kedelai nasional rendah yaitu 1,28 ton/ha, sedangkan di Amerika mampu mencapai 2,3 ton/ha yang kemudian banyak para ahli pertanian latah dan menjustifikasi bahwa tanaman kedelai identik sebagai tanaman subtropik yang hanya cocok tumbuh dan berproduksi tinggi di Negara-negara subtropik dan kurang cocok jika di tanam di Indonesia.Hal ini tidak sepenuhnya benar karena di India dan Cina ternyata rata-rata produktivitas nasionalnya sama dengan Indinesia bahkan lebih rendah. Pada kenyataannya dengan teknologi yang tepat tanaman kedelai di Indonesia mampu mencapai produksi lebih dari 3 ton/ha dan bahkan dalam beberapa pengujian sekala lapangan produksi kedelai di Indonesia dapat melampaui 4,5 ton/ha. Beberapa jenis kedelai temuan baru saat ini telah berhasil pula ditanam dan berproduksi dengan baik pada ketinggian 1.300 m dpl dengan produktivitas lebih dari 3 ton/ha yang selama ini dan selama ini banyak ahli dan pihak-pihak pesimis.
2. Hama dan penyakit komoditi pangan cukup besar karena kondisi iklim di Indonesia yang tropis (panas dan lembab) dan atas dasar teori dan fenomena parsial tersebut diklaim bahwa bertani pangan tidak efisien dan rugi ditanam di Indonesia. Padahal hal di Negara sub tropis sendiri dahulu mengalami masalah yang sama sebelum menerapkan tanaman GMO (genetically modified organism) dan Hibrida. Di negara maju seperti Amerika, Canada dan Australia, lebih dari 80 % tanaman Jagung dan Kedelai yang ditanam adalah GMO. Teknik pengendalian hamanya dilakukan secara total dengan penyemprotan pestisida dalam hamparan yang luas (dengan pesawat) sehingga kemungkinan hama di areal hamparan tersebut musnah termasuk burung dan satwa alam lainnya ikut musnah.
3. Negara maju lebih banyak memberikan produk dan teknologi olahan pangan yang berbasis pada bahan baku impor seperti Biji kedelai, gandum dan kentang, untuk memacu pemakaian konsumsinya, tetapi segi teknologi budidaya pangan kurang diperkenalkan sehingga dalam produksi komoditi pangan di dalam negeri tidak lebih efisien dan kalah bersaing, dan impor semakin besar. Kondisi ini justru tidak memihak ke pembangunan pertanian rakyat dan jika scenario kebijakan pemerintah berpihak kepada kepentingan industri Negara maju di atas, maka Indonesia menjadi pasar produk pangan mereka dan makin besar ketergantungannya dan terjajah pangannya.
4. Sentra perbenihan pangan kurang di kembangkan sebagai industri benih Nasional yang utama dan berkelanjutan. Para produsen benih baik swasta maupun petani penangkar kuang mampu menghasilkan benih yang unggul dan berdaya hasil tinggi dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu perlu perhatian yang serius terhadap jaminan ketersediaan benih, pemberian insentif produsen benih, teknologi produksi, keterjaminan akan konsumsi benih dan tata perbenihan komoditi pangan yang bermutu (pengadaan, persebaran dan ketersediaan, dll.) merupakan titik awal untuk memulai bangkit Pangan.
5. Permasalah lain adalah lemahnya permodalan petani untuk menanam dalam lahan yang lebih luas. Kredit yang dapat menjamin usaha di sektor ini tidak ada. Kalaupun ada hanya sebatas diwacanakan, milsalnya kebijakan KKP kedelai. Lemahnya modal untuk membiayai usaha tani kedelai berdampak langsung pada rendahnya produktivitas dimana ketiadaan modal petani tidak melakukan budidaya dengan tepat seperti tidak dipupuk (tidak mampu beli benih unggul, pupuk dan pestisida), tidak diurus/diberi air irigasi, tidak mampu menahan saat harga turun (stock gudang), bahkan petani terbelilit ijon (tanaman dijual/digadai sebelum panen) dengan harga murah.
Faktor Untuk
Mencapai Swasembada Pangan
Radius Prawiro pada tahun
1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke
arah swasembada beras, diantaranya:
1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat ansional.
Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.
2. Teknologi dan Pendidikan.
Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani.
Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar agar dapat meningkatkan produksi pangan. Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.
3. Koperasi Pedesaan.
Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.
4. Prasarana.
Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan.
KESMPULAN
Dalam swasembada pangan pemerintah sudah cukup banyak melakukan usaha-usaha untuk memenuhi semua kebutuhan tetapi seharusnya pemerintah menekankan pada hambatan-hambatan swasembada pangan agar memperkecil tingkat hambatannya. Mewujudkan swasembada beras di tengah produktivitas padi yang kian melandai dan jumlah penduduk yang terus bertambah secara signifikan, menurut Posman Sibuea, maka orientasi kebijakan pangan harus ke arah diversifikasi konsumsi pangan. Hal ini patut segera dilakukan mengingat ketergantungan pada beras dapat menjadi musibah bagi Indonesia apabila harga beras di pasar internasional semakin mahal akibat stok dunia menurun.
Dalam swasembada pangan pemerintah sudah cukup banyak melakukan usaha-usaha untuk memenuhi semua kebutuhan tetapi seharusnya pemerintah menekankan pada hambatan-hambatan swasembada pangan agar memperkecil tingkat hambatannya. Mewujudkan swasembada beras di tengah produktivitas padi yang kian melandai dan jumlah penduduk yang terus bertambah secara signifikan, menurut Posman Sibuea, maka orientasi kebijakan pangan harus ke arah diversifikasi konsumsi pangan. Hal ini patut segera dilakukan mengingat ketergantungan pada beras dapat menjadi musibah bagi Indonesia apabila harga beras di pasar internasional semakin mahal akibat stok dunia menurun.
SUMBER:
Pemerintah Fokus Swasembada 5 Komoditas
Ekonomi
0
29 Nov 2013 17:16

Pemerintah dikatakan masih tetap mengacu pada program Bukit Tinggi Plan Of Action, yaitu memperiotitaskan swasembada lima komoditas pangan.
"Kita memang harus tetap konsisten dengan Bukit Tinggi plan Of Action yaitu menuju swasembada lima saja yang kita prioritaskan. Beras itu sudah, jagung, gula, kedelai, daging sapi," kata Hatta usai menghadiri pembukaan Jambore Masyarakat Agribisnis dan Agro Industri Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Jumat (29/11/2013).
Sementara untuk komoditas lainnya, menurut Hatta kondisinya saat produksi dalam negeri sudah mencukupi memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Yang lain holtikultura banyak dipengaruhi faktor musiman. Sebetulnya kita seperti bawang cabai kita itu cukup," ungkap dia.
Namun, menurut Hatta meski sudah terbilang cukup komoditas pangan tersebut terkadang juga mengalami keterbatasan karena dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah musim panen dan cuaca.
"Tapi kadang-kadang ada gangguan panen musim cuaca kita shortage ini yang harus kita jaga bagaimana teknologinya tapi plant action. Untuk 10 juta surplus beras harus jadi agenda utama kita," tuturnya. (Pew/Nrm)
Pemerintah Fokus Swasembada 5 Komoditas
Ekonomi
0
29 Nov 2013 17:16

Pemerintah dikatakan masih tetap mengacu pada program Bukit Tinggi Plan Of Action, yaitu memperiotitaskan swasembada lima komoditas pangan.
"Kita memang harus tetap konsisten dengan Bukit Tinggi plan Of Action yaitu menuju swasembada lima saja yang kita prioritaskan. Beras itu sudah, jagung, gula, kedelai, daging sapi," kata Hatta usai menghadiri pembukaan Jambore Masyarakat Agribisnis dan Agro Industri Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Jumat (29/11/2013).
Sementara untuk komoditas lainnya, menurut Hatta kondisinya saat produksi dalam negeri sudah mencukupi memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Yang lain holtikultura banyak dipengaruhi faktor musiman. Sebetulnya kita seperti bawang cabai kita itu cukup," ungkap dia.
Namun, menurut Hatta meski sudah terbilang cukup komoditas pangan tersebut terkadang juga mengalami keterbatasan karena dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah musim panen dan cuaca.
"Tapi kadang-kadang ada gangguan panen musim cuaca kita shortage ini yang harus kita jaga bagaimana teknologinya tapi plant action. Untuk 10 juta surplus beras harus jadi agenda utama kita," tuturnya. (Pew/Nrm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar